mendidik korupsi

“Pak, si Udin butuh seragam sekolah baru tuh”,
si Emak berkata kepada si Bapak,
disaksikan si Udin yang kelas 3 SD.

“Waduh, duit lagi pas-pasan nih”,
keluh si Bapak,
mendengar permintaan itu.

“Pakai duit kas RW aja dulu, Pak,
kan Bapak bendaharanya”,
si Emak menimpali,
dengan ide briliannya.

“Lah, itu bukan duit kita!”
tukas si Bapak,
penuh ragu-ragu.

“Cincai lah Pak, gak ada yang tahu juga”,
si Emak menyakinkan
disertai sebuah senyuman.

“Iya deh, berapa butuhnya?”,
tanya si Bapak kepada Emak.

“Tiga ratus ribu rupiah, Pak”,
jawab si Emak.

****

“Mak, kok tiga ratus ribu sih?”,
tanya si Udin keheranan.
“Bukankah cuma dua ratus ribu?”.

“Udah, jangan banyak tanya!”
bentak si Emak,
dengan sorot mata tajam.
“Ini dua ratus ribu untuk beli seragam”

“Seratus ribu lagi buat apa, Mak?”
tanya si Udin dengan polos.

“Bukan urusanmu! Itu urusan Mak!”,
dan si Emak pun berlalu.

****

“Butuhnya dua ratus ribu, mintanya tiga ratus ribu”
si Udin kecil pun berpikir,
“Wah, gampang ya dapat duit!”,
matanya pun berbinar.

“Tinggal bohong sedikit saja kok,
atau ambil saja dari kas RW,
mumpung jadi bendahara”,
si Udin belajar sesuatu.

****

Tiga puluh lima tahun kemudian,
si Udin digelandang ke kantor KPK.
Dia dituduh korupsi uang negara.

Dia pun heran, apa yang salah?
Bukankah ini hal yang biasa?

Andaikan Bapak dan Emak ada di sini,
Mereka tentu dapat menjelaskan.

(Cibubur, 6 Maret 2015)

Puisi ini lolos dalam seleksi untuk buku antologi puisi “Puisi Menolak Korupsi IV” yang akan diterbitkan oleh Forum Sastra Surakarta pada akhir Mei 2015 nanti. Terima kasih kepada ketua punggawa gerakan Puisi Menolak Korupsi (PMK), Mas Sosiawan Leak dan kawan-kawan.

Daftar nama para pengisi buku antologi tersebut dalam dilihat pada blog PMK di sini.

Tentang gerakan PMK dapat dibaca di sini.

4 thoughts on “mendidik korupsi

Leave a reply to Galeri Foto 2017 | Bingkai Warna Kata Cancel reply