Menjadi Bijak dalam Menilai

Setidaknya terdapat empat karya manusia untuk peradaban, yaitu (1) ilmu pengetahuan (science), (2) rekayasa (engineering) atau teknologi (technology), (3) kebijakan (policy), serta (4) seni (arts). Sebagai cipta karsa manusia, dia tentu tidak akan terlepas dari paradigma yang dianut oleh manusia itu sendiri.

Misalnya, kita ambil contoh paradigma postmodernism, yang bisa mempengaruhi keempat hal di atas. Sebagai dosen yang mengasuh kuliah metodologi penelitian di tingkat pascasarjana, saya sangat paham bahwa terdapat perbedaan paradigma ilmu pengetahuan dalam perspektif positivism, interpretivism, postmodenism, dan sebagainya.

Begitu juga dengan karya rekayasa atau teknologi, maka kita juga mengenal istilah postmodernism engineering design. Beberapa negara di Eropa menganut kebijakan negara yang bernuansa postmodernism yang lebih egaliter. Demikian pula dengan karya seni, kita juga mengenal istilah karya seni beraliran postmodernism.

Intinya, setiap cipta karsa manusia itu, tidak bisa dilepaskan dari paradigma manusia itu sendiri, baik yang membuatnya, maupun yang mengkonsumsinya, apalagi yang mengamatinya. Dalam dunia ilmu pengetahuan, perdebatan antara ilmuwan beraliran positivism dengan interpretivism (yang sering disebut juga dengan istilah anti-positivism) pun belum selesai sampai saat ini.

Bahkan di beberapa kampus top di Indonesia, masih terdapat fakultas atau jurusan yang fanatik dengan paradigma tertentu untuk melakukan penelitian dan menganggap penelitian dengan paradigma lain itu bukanlah sesuatu yang ilmiah. Menyedihkan bukan?

Bukankah ini hanya memperdebatkan paradigma atau aliran semata? Jika kita mampu membuka pemikiran lebih luas, tentu kita bisa memahami terjadinya perbedaan aliran atau paradigma.

Menurut saya, demikian pula dengan produk seni, termasuk sastra. Banyak aliran atau paradigma pada dunia sastra. Sepanjang pengetahuan saya yang terbatas terhadap dunia sastra, kita mengenal aliran realisme, ekspresionisme, naturalisme, simbolik, dan sebagainya.

Bagi kita para penulis sastra, tentu tak usah peduli aliran apa yang kita miliki. Tulis saja, berkarya saja, sesuai dengan apa yang ingin kita buat. Tentu saja dengan teknis penulisan yang baik. Proses kreatif jangan sampai terbelenggu oleh paradigma atau aliran. Tetapi pemahaman tentang paradigma juga baik untuk memperkaya. Intinya untuk memperkaya, bukan membelenggu.

Hanya saja bagi yang ingin mengamati, menilai, apalagi yang ingin memproklamirkan diri sebagai kritikus sastra, ada baiknya kita mengenal berbagai aliran ini supaya tidak terjebak ke dalam pemikiran yang sempit.

Apa itu pemikiran yang sempit? Begini. Jika pahamnya baru sebatas sastra dalam aliran atau paradigma A, jangan sampai kita mengatakan buruk atau mengkritik dengan pedas karya sastra yang beraliran atau berparadigma B atau C, seolah-seolah B dan C itu bukanlah karya sastra. Kita mengkritik karya B dan C dengan menggunakan pisau analisis A. Ya susah kalau begini.

Tetapi repotnya, dan ini yang parah, baru mengenai 1 atau 2 paradigma, lalu seolah-olah sudah merasa paham semua isi dunia .. hehe ..

Ini sama kasusnya dalam penalaran ilmiah (scientific inquiry) dimana kita baru pahamnya menggunakan statistik, lalu menganggap keliru dan mengkritik pedas penalaran menggunakan analytic herarchy process, misalnya. Padahal keduanya sama-sama ilmiah dan juga merupakan proses scientific inquiry.

Saya pernah membimbing tesis mahasiswa S2 dengan menggunakan paradigma A, lalu dosen penguji menyalahkan dan menilai buruk penelitian si mahasiswa ini karena dia menilai menggunakan paradigma B. Akhirnya terpaksa saya menjelaskan perbedaan paradigma ini kepada kolega saya si dosen penguji tersebut dan akhirnya dia paham, ada ya paradigma A itu .. waduh ..

Nah, menjadi kritikus sastra itu memang sulit. Ini sama sulitnya dengan menjadi dosen penilai penelitian mahasiswa di kampus. Ketika si penilai itu tahunya cuma sedikit, maka dia akan cenderung menyalahkan sesuatu yang tidak sesuai dengan pikirannya (yang lebih banyak disebabkan karena kedangkalan ilmu dan wawasan).

Ketika kita paham secara holistik, paham banyak aliran dan paradigma, maka kita akan lebih arif dan bijaksana dalam menilai sesuatu. Wujudnya kearifan itu adalah dengan sikap tidak mudah menyalahkan atau menganggap buruk sesuatu.

Untuk sampai pada suatu kesimpulan maka perlu sebuah pisau analisis yang tajam, multiparadigma, dan tentu saja memiliki framework analisis yang jelas.

Tetapi ada satu sikap yang jauh lebih bijak. Menurut alm Steve Jobs, pendiri Apple, jika kita merasa ilmu kita memang masih sedikit, maka stay foolish, perbanyak belajar daripada berkomentar apalagi sok menilai.

Ajaran Islam (yang saya anut) pun mengatakan bahwa berbeda kapasitasnya orang yang luas ilmu pengetahuan dan berpikir (tafakkarun) dengan yang tidak. Itulah sebabnya ayat pertama yang turun adalah membaca atau iqra‘.

Saya pikir, begitu juga dengan dunia sastra. Tentu akan berbeda hasil analisis “kritikus” yang ilmunya baru sedikit dengan yang berilmu banyak (holistik). Sama dengan di kampus, tentu berbeda seorang dosen yang baru jadi dosen dengan mereka yang sudah memiliki jam terbang yang tinggi dengan pemahaman scientific inquiry yang multiparadigma.

Janganlah ketika kita baru paham definisi puisi dalam aliran atau paradigma simbolik, lalu mengatakan puisi dalam wujud realis itu buruk atau bukan sebuah karya puisi. Jika ini yang terjadi, maka tentu kita akan ditertawakan orang.

Tulisan ini hanya ditujukan untuk mereka yang ingin menjadi pengamat, evaluator, bahkan kritikus, supaya lebih bijak dalam menilai sesuatu.

Kalau urusan berkarya sih gak usah dipikirin semua yang saya tulis di atas. Berkarya saja! Just write down! Paling kita hanya perlu paham teknis penulisan.

Yuk, sama-sama belajar 🙂

Salam kreatif!

… silakan baca tulisan lanjutannya di sini.

3 thoughts on “Menjadi Bijak dalam Menilai

Leave a comment